Membudayakan Literasi, Meliterasi Budaya

Membudayakan Literasi

Minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara terkait minat membaca. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini ini diperkuat dengan hasil statistik Indikator Sosial Budaya yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai berikut:

Indikator Sosial Budaya

 

Persentase Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang:

Tahun
2003 2006 2009 2012 2015
Mendengar Radio 50.29 40.26 23.50 18.57 7.54
Menonton Televisi 84.94 85.86 90.27 91.68 91.47
Membaca Surat Kabar/Majalah 23.70 23.46 18.94 17.66 13.11
Melakukan Olahraga 25.45 23.23 21.76 24.99 27.61

Sumber: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1234 (Diakses pada 14 September 2017)

Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mendengar radio dan membaca surat kabar/majalah sebagaimana data di atas menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Dapat diartikan, budaya literasi bangsa Indonesia juga menunjukkan penurunan. Dalam arti sempit, budaya literasi dimaknai sebagai budaya membaca.

Menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah agar budaya literasi masyarakat Indonesia meningkat. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berupaya menjadikan membaca buku sebagai suatu budaya. Muaranya, terwujud budaya literasi sebagai sarana mengembangkan potensi diri generasi muda secara utuh. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, sekolah wajib menggunakan lima belas menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku, khususnya selain buku mata pelajaran.

Melalui budaya literasi dapat disisipkan nilai-nilai karakter di dalamnya. Sekolah Dasar (SD) menjadi tempat pendidikan formal pertama kali seorang anak. Anak-anak telah mendapatkan pendidikan pada keluarganya masing-masing hingga usia tujuh tahun. Mulai usia tujuh tahun inilah mereka mulai berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman dan gurunya di sekolah. Usia anak sekolah dasar merupakan usia emas, ibarat mengisikan air ke dalam gelas yang kosong, pada masa inilah mulai diajarkan nilai-nilai karakter.

Oleh karena itu, diperlukan strategi dari pemerintah untuk menumbuhkan budaya literasi masyarakat Indonesia, utamanya anak-anak usia sekolah dimulai dari SD. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), telah menginisiasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Seperti yang dikutip dari Buku “Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah” yang diterbitkan pada tahun 2016 oleh Kemdikbud, budaya literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Kemampuan ini yang disebut sebagai literasi informasi. Dengan kata lain, literasi dimaknai sebagai kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas.

Gayung bersambut, langkah strategis Kemendikbud melalui GLS tersebut dikuatkan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Pemerintah, baik pusat ataupun daerah, bertanggung jawab meningkatkan minat membaca dan menulis. Bahkan, pemerintah menjamin tersedianya buku yang bermutu, murah, dan merata tanpa dikriminasi.

 

Meliterasi Budaya

Indonesia merupakan negara yang berbudaya. Hal ini dalam artian Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti. Implementasi perwujudannya melalui penguatan pendidikan karakter (PPK) dengan berfokus pada penguatan nilai-nilai (a) religius, (b) jujur, (c) toleran, (d) disiplin, (e) bekerja keras, (f) kreatif, (g) mandiri, demokratis, (h) rasa ingin tahu, (i) semangat kebangsaan, (j) cinta tanah air, (k) menghargai prestasi, (l) komunikatif, (m) cinta damai, (n) gemar membaca, (o) peduli lingkungan, (p) peduli sosial, dan (q) bertanggung jawab. Pelaksanaan PPK bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah selaku satuan pendidikan, melainkan juga tanggung jawab bersama keluarga dan masyarakat. PPK ini wujud dari implementasi Nawacita 8 “Revolusi Karakter Bangsa” sebagai pondasi dan ruh utama pendidikan. Presiden Joko Widodo menaruh perhatian yang sangat besar atas pelaksanaan PPK ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

PPK ini merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), didefinisikan sebagai gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Salah satu yang menjadi prinsip pelaksanaan PPK adalah berlangsung melalui pembiasaan dan sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan penumbuhan budi pekerti melalui kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015.

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, pelaksanaan GLS dan PPK dapat dilaksanakan secara bersamaan. Pada satu sisi, pemerintah membudayakan literasi, pada sisi lainnya penguatan nilai-nilai karakter juga meningkat. Dengan pendekatan budaya literasi, pembudayaan nilai-nilai karakter disajikan melalui buku cerita atau bacaan yang disajikan secara menarik dan menyenangkan. Nilai-nilai karakter utama sudah dapat mulai diinklusikan sejak dini.

 

Langkah Konkret

Pembudayaan literasi dimulai dari (1) Diajarkan, dan (2) Dibiasakan, selanjutnya (3) Dilatih Konsisten, kemudian (4) Menjadi Kebiasaan, (5) Menjadi Karakter, dan tujuan akhirnya adalah (6) Menjadi Budaya.

Pertama, Diajarkan. Sudah selayaknya menjadi program di sekolah, khususnya SD. Pertama kali bertemu dengan gurunya, sang guru mulai mengajarkan tentang membaca buku dan menceritakan apa manfaat membaca. Mengutip pernyataan Jacqueline Kennedy, “ada banyak cara kecil untuk meluaskan dunia anak-anak. Cinta Buku adalah yang terbaik dari segalanya.” Sejalan dengan pernyataan itu, Maya Angelui berpendapat, “Buku apapun yang membantu seseorang anak membentuk kebiasaan membaca, menjadikan membaca kebutuhannya yang mendalam dan tiada habis, adalah buku yang baik baginya.” Berdasarkan kedua penyataan tersebut, menumbuhkan minat membaca dimulai dari anak-anak merupakah hal yang sangat penting. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Esther Meynell, “Buku, bagi seorang anak yang membaca, lebih dari sekadar buku. Tetapi, ia merupakan impian sekaligus pengetahuan dan masa depan sekaligus masa silam.”

Kedua, Dibiasakan. Kegiatan membaca buku selain buku pelajaran sebelum masuk materi pelajaran menjadi bagian dari tahap yang kedua ini. Untuk tingkatan kelas awal, siswa masih dalam tahap belajar membaca. Dari sini lah mulai dikenalkan cerita yang mengandung nilai-nilai karakter. Guru dapat memulainya dengan membacakan cerita tersebut. Hingga pada akhirnya, ketika sang siswa telah bisa membaca, barulah dapat masing-masing sang siswa membaca buku masing-masing. Setelah siswa sudah bisa membaca buku, barulah masing-masing dari mereka diminta untuk menceritakan kembali isi buku yang mereka baca. Dengan menceritakan kembali, nilai karakter yang terkandung dalam buku dapat terserap dengan baik, tidak hanya pada si anak tetapi juga teman-temannya.

Ketiga, Dilatih Konsisten. Pada tahap ini, sekolah memberikan target membaca kepada masing-masing siswa, misalnya: “Satu Minggu Satu Buku.” Sekolah menyediakan buku-buku bacaan sejumlah siswa sekelas dengan judul yang berbeda-beda, selanjutnya setelah seminggu, buku-buku itu bergeser ke siswa yang lain. Misalkan saja satu kelas ada 30 siswa. Paling tidak dalam 30 minggu, masing-masing siswa telah membaca 30 buku. Tentunya gerakan ini harus dilaksanakan dengan konsisten.

Keempat, Menjadi Kebiasaan. Setelah siswa diajak konsisten untuk membaca buku, harapannya kegiatan membaca buku menjadi kebiasaan dari masing-masing siswa. Pada tahap ini, sekolah perlu menjaga konsistensi siswa dalam membaca buku. Penyediaan perpustakaan kecil pada setiap sudut kelas dan penataan ruangan perpustakaan yang nyaman menjadi faktor menjaga konsistensi siswa dalam membaca buku. Pada akhirnya, membaca buku dapat menjadi kebiasaan dari masing-masing siswa.

Kelima, Menjadi Karakter. Menjadi muara dari tahap pertama sampai dengan keempat adalah nilai-nilai di dalam buku bacaan menjadi karakter yang dimiliki para siswa. Penyediaan buku bermutu yang sarat akan nilai-nilai karakter menjadi poin penting dalam transformasi nilai-nilai karakter. Kemdikbud melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan telah mewujudkan ekosistem perbukuan sekolah untuk mencapai penyediaan buku bermutu untuk semua. Melalui laman http://buku.kemdikbud.go.id, telah disediakan buku-buku nonteks pelajaran baik yang berisi tentang pengetahuan ataupun kepribadian. Selain dalam bentuk elektronik (e-book), buku-buku cetakan (hardcopy) juga harus diperbanyak. Dengan semakin banyaknya buku-buku bermutu, nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya dapat diinklusi.

Keenam, Menjadi Budaya. Tujuan akhir dari itu semua adalah nilai-nilai karakter yang ada terus melekat ke dalam diri siswa hingga kelak nanti sehingga menjadi budaya.

Di tengah upaya pemerintah dan sekolah menumbuhkan minat baca, orang tua dan keluarga, sebagai tempat pendidikan pertama, harus senantiasa memberikan dukungan. Mereka dapat mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh sekolah dengan diterapkan di keluarga atau rumah. Bisa melalui memberikan hadiah/kado berupa buku yang nantinya bisa disimpan di perpustakaan kecil sudut rumah. Alhasil, membudayakan literasi dan meliterasi budaya, apalagi untuk generasi SD, yang semula merupakan hal yang tak semudah membalikkan telapak tangan, dengan dukungan dan partisipasi aktif orang tua dan masyarakat, tidak mustahil melalui GLS, PPK akan terwujud.

Sumber Gambar:
https://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/639621/big/buku-140219a.jpg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *